Antara Panci Presto dan Sebuah Karya
Halo, semuanya! Pemandangan siang hari ini sangat cerah bila kulihat dari balik jendela kamarku, membawa nuansa yang tepat untuk berbagi sebuah pemikiran di blog pribadi ini. Ditemani oleh Roxie, ikan cupang hitam merah kesayanganku, serta Hiroshi, kucing domestik jantan paling perhatian yang sekarang sedang tertidur di tepi kasur tidurku. 🐈🐟
Kemarin aku mendengarkan sebuah podcast dari Thirty Days of Lunch yang membawa Mbak Dee Lestari ke dalam obrolan mereka dengan topik ide. Untuk diriku yang lebih menyukai obrolan berbobot tanpa basa-basi, durasi podcast sepanjang 1 jam lebih itu ternyata membuahkan banyak insight! Mitos tentang konten panjang nan membosankan langsung tertepis begitu mendengar episode podcast tersebut.
Lantas apa yang aku dapatkan dari perbincangan mereka itu? Satu yang paling aku ingat di dalam pikiran adalah istilah panci presto. Sebagai seorang penulis blog (ya, tentu saja aku berbicara tentang blog ini) aku sering mengalami writer's block, yang tidak kuanggap sebagai masalah besar (mungkin karena aku hanya menulis untuk kesenanganku). Namun, tetap saja dengan komitmen yang aku miliki untuk menghasilkan konten setidaknya satu tulisan setiap bulannya masih menjadi tantangan tersendiri. Aku masih kesulitan mengatur waktu dan mengenerate ide dengan baik, jadi sampai saat ini pun masih kubiarkan saja masalah itu selayaknya angin lalu. Tentu saja, tidak sampai kemarin!😂
Jika kalian belum mengetahuinya, Mbak Dee Lestari ini adalah penulis yang sudah menghasilkan 18 buku. Ditambah banyak dari karyanya telah dikenal sebagai best seller book, salah satunya adalah Supernova. Aku pernah membaca karyanya itu dan bisa kukatakan aku sangat suka caranya bercerita! Jadi, kalian tahu mengapa aku tidak bisa melewatkan podcast yang menampilkan dirinya sebagai bintang tamu itu.
Okeeyy, kembali ke bagian apa yang aku dapatkan dari perbincangan itu? Yup, tentang panci presto. Ternyata ada suatu makna dibalik panci presto yang berhubungan dengan ide kita. Baik buruknya sebuah karya, hanya dapat dinilai ketika karya tersebut telah rampung. Namun, seorang pekerja kreatif seringkali mengalami hambatan dalam menyelesaikannya. Sayang sekali bukan? Lalu bagaimana caranya kita bisa mengatasi hambatan tersebut? Nah, di sinilah kita bisa menerapkan filosofi panci presto itu. Untuk dapat menyelesaikan karya yang kita buat, ternyata ada baiknya bagi kita untuk menerapkan tekanan (pressure) kepada diri kita.
Apabila melihat pekerjaan seperti dokter, ketika kedatangan pasien di ruang UGD tentu saja dokter tersebut tidak bisa mengatakan tidak mood untuk mengerjakan tugasnya bukan? Pasti dokter tersebut akan berangkat terburu-buru ke ruang UGD dan menangani pasiennya. Dalam hal ini, Mbak Dee Lestari melihat fenomena itu masuk akal karena tekanan yang dirasakan nyata, sedangkan bagi pekerja kreatif tekanan untuk menghasilkan karya itu justru bersifat untangible (tidak kelihatan). Jadi, sebagai pekerja kreatif kita pun harus memberikan tekanan yang nyata bagi diri kita dalam memproduce sebuah karya. Contoh yang bisa Mbak Dee Lestari berikan adalah ketika dirinya memproduksi karya Perahu Kertas, rupanya dia menuliskan target penyelesaian bukunya tersebut dalam sebuah blog pribadi miliknya. Hal itu rupanya berhasil memberikan tekanan (yang positif) bagi Mbak Dee Lestari untuk menyelesaikan karyanya dengan tepat waktu.
Wah, sangat menarik ya? 😍
Aku sedikit tidaknya bisa memahami posisi Mbak Dee Lestari saat itu, perasaan yang ditimbulkan ketika kita sudah menuliskannya di publik atau memberitahukannya kepada orang yang kita percaya tentang sesuatu yang akan kita berikan pada kurun waktu atau dengan spesifikasi tertentu. Ini seperti janji yang terikrarkan meskipun tidak terucapkan dengan kata-kata, sehingga harus ditepati.
Hubungan tekanan dalam filosofi panci presto dalam konteks memproduksi sebuah karya adalah semakin besar tekanan yang kita berikan, maka semakin cepat karya tersebut matang (selesai)! Aku sangat setuju dengan hal ini. Dalam berkarya (entah apapun posisimu, bidang kreatif ataupun tidak), penting sekali untuk memberikan tekanan berupa tenggat waktu. Agar kita tidak terhenti terlalu lama pada proses A, ataupun terlalu sebentar pada proses B. Semuanya harus seimbang sesuai dengan takarannya, agar karya yang dihasilkan dapat diselesaikan. Tidak hanya itu, komitmen pun dibutuhkan! Semuanya hanya akan menjadi kata-kata bila tidak diiringi dengan komitmen untuk menyelesaikan karya yang telah dirancang.
Penerapan nyata dari filosofi panci presto itu adalah postingan blog hari ini, hehe. Langsung pratik, keren sekali bukann!
Baiklah, sekian saja yang bisa aku bagikan di tulisan kali ini. Bagi kalian yang ingin mendengarkan podcast yang aku sebutkan di awal sampai habis bisa terhubung ke Spotify melalui link berikut ya. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kalian semuaaa~ 😊
Cheers!
Komentar
Posting Komentar