Mentari Malam

Udara dingin yang menusuk di atas gunung, tidak lagi mematikan tulang karena semuanya pantas untuk kupandang dari sini. Aku terdiam menatap matahari yang tenggelam pada lipatan langit, pendar oranye yang sempurna. Tubuh ini terduduk di antara hamparan rumput liar yang lembab terbungkus embun, gerimis turun beberapa waktu lalu. Dan aku di sini menyiksa diriku dengan suhu yang sangat mungkin memicu hipotermia karena tubuh yang hanya berbalut kardigan tipis berwarna mocha. Haha, tentu saja tidak—tapi aku juga tidak peduli bila itu terjadi. 

Bukankah kita harus menemukan sedikit keindahan dalam hidup? Misalnya, dengan menyaksikan sunset thing ini yang ternyata banyak membantu dalam mencegahku untuk melompat dari tumpukan batu terjal di atas sini dan berakhir menjadi risoles berbalut kerikil renyah. Aku berdecak dengan pemikiran itu. Itulah yang terjadi kalau kau berkelana sendirian—ke gunung untuk menenangkan diri, jadi saranku bawalah seseorang. Sial, semuanya jelas sekarang.

Aku membaringkan diri, mendekap dadaku erat-erat. Bukan sekali dua kali aku melakukan ini—berlari pada alam—sendirian. Alasannya sederhana, mereka mendengarku, lebih baik dari yang mereka lakukan. Kalau di sini aku merasa pengap dunia bisa terserap oleh dinginnya udara, lalu dalam sekejap mata saja berubah jadi kabut atau.. tenggelam bersama mentari. Ah, aku iri dengannya yang bisa tenggelam jadi malam di sore hari, lalu dengan mudahnya kembali bersinar terang keesokan paginya. Walaupun nama kami sama, kami berbeda untuk hal satu itu. Aku sudah terlalu banyak tenggelam dan lupa untuk bersinar kembali.

Aku berdiri di tepi tebing yang menghadap langsung pada bulan yang bersinar menggantikan mentari. Langit nyaris memakan mentari seluruhnya, menyisakan siluet tipis di ujung sana, malam sudah hampir tiba. Ini lah waktu yang paling kusuka dalam sehari, waktu yang tepat untuk melompat. Kurasakan kulitku yang bergesek kasar dengan bebatuan, mengikis kulitku hingga terbuka. Namun, di tengah perjalanan itu pun semuanya masih sama, tak ada seorang pun yang datang. 

Aku tersenyum pedih dan memejam mata.. Mentari tak kan terbit besok pagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

How Wonderful You Truly Are

Impossible Possible

A Tale of the Beautiful Swan and the Ugly Duck