Angan Tak Sampai

Quena memutar-mutar pulpen di antara ibu jari dan telunjuknya, pikirannya sungguh tak berada di tempat ini. Koleganya yang sibuk berbincang—sebab ini jam istirahat, tak membuatnya bergerak sedikitpun dari meja kerjanya. Mengejar dead line, itu yang dia katakan pada semuanya, agar tiada yang mengganggunya.

Wanita itu terdiam, sesekali tertawa-tawa kecil, begitu melihat tangannya justru menggambar rupa benda melingkar dengan berlian kecil pada intinya. Cincin pernikahan. Quena pikir itu menjadi hal yang paling diinginkan oleh wanita seusianya, membangun sebuah keluarga bersama orang yang kau cintai. Tangannya terhenti, entah mengapa kata cinta sangat mengiris hatinya.

Adam, bisiknya. Nama itu masih menjadi nama yang paling membekas dalam hatinya, tidak mungkin tidak. Pikirkan saja, sepuluh tahun bukan waktu yang sedikit. Waktu yang Quena habiskan bersama Adam, yang dulunya selalu menjadi memori bahagia, kini justru berubah jadi memori pahit yang harus dilenyapkan secepatnya. Tidak, Quena tidak bisa secepat itu. Namun, mengapa Adam bisa?

Apakah semua angan yang mereka cita-citakan itu hanya omong kosong? Sehingga pria itu berbalik dengan mudahnya tanpa menoleh sedikitpun. Atau.. sebenarnya selama itu hanya Quena yang bermimpi tentang masa depan bersama Adam?

Bukan itu alasannya..

Adam masih mencintainya, masih sangat-sangat mencintai Quenanya. Bibir wanita itu berguncang, berusaha menahan tangisnya. Quena tahu betul, cinta bukan suatu hal yang menjadi penghalang mereka untuk bersatu. Semuanya mungkin tak akan jadi seperti ini, bila doa mereka tertuju pada Tuhan yang sama.

Quena membuka laci meja kerjanya, melihat lembar undangan pernikahan berbalut tulisan emas. Adam.. Adam.. lirih yang menyayat jiwa, getar tangis lepas sudah dari tubuhnya. 

Adam.. apa beberapa angan memang ditakdirkan untuk tak dapat terwujud?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

How Wonderful You Truly Are

Impossible Possible

A Tale of the Beautiful Swan and the Ugly Duck