Simfoni Sepi di Malam Purnama
Kunyalakan lentera di sudut jendela kamar ini, nyalanya yang kecil cukup untuk menemani malam yang hampa. Lalu kususutkan tubuh ringkih ini di atas ranjang lembut yang menjadi dambaan semua orang, merasakan dingin yang menusuk tulang di bulan Januari.
Suara derik jangkrik kian terdengar melalui jendela kamar yang terbuka lebar. Apakah mereka sedang menyapaku yang lagi-lagi sendiri setelah sekian purnama? Angin memainkan rerumputan kering yang kian tinggi, membuat pandanganku beralih pada kebun utama rumah kita. Bunga mawar putih yang dulu tumbuh indah sudah hilang sepenuhnya, tenggelam dalam lautan ilalang dan semak belukar. Sama seperti hatiku yang kau tinggalkan begitu melempar janji pernikahan.
Apakah kau tahu, Adam? Masa yang paling sulit dalam merawat tumbuhan cantik seperti mawar adalah ketika bunga tersebut mulai bermekaran. Kau tak bisa lengah dan mendiamkannya di sana, kau harus memutuskan akan kau gunakan sebagai apa bunga itu. Bunga itu bisa mati karena menunggumu.
Aku adalah bunga itu.
Dulu Laila adalah seorang wanita paling bahagia karena bisa mencintai dan dicintai oleh seorang Adam. Laila pun semakin yakin akan menjadi jauh lebih bahagia begitu dirinya disatukan dengan Adam dalam ikatan pernikahan. Seluruh mimpi dan tujuan hidupnya selalu berputar pada diri Adam.
Akan tetapi, Laila itu telah lenyap bersama dengan angan-angan yang berubah menjadi kenangan. Kenangan pahit yang membuatku sulit memejam mata. Semua itu hanya ada dalam pikirku. Kau tidak memiliki pikiran yang sama. Namun, aku tahu kau, Adam. Kamu pasti merasa menang begitu aku berkata "Ya!" hari itu. Semua usai begitu kau membawaku ke rumah ini. Kini bagimu aku tidak lebih dari pajangan yang hanya kau lihat satu atau dua kali dalam sehari demi memastikan aku berada pada tempat seharusnya dan dalam keadaan yang baik.
Kau kian sibuk dengan poros dirimu, tanpa mengingat aku yang saat ini sudah menjadi bagian darimu.
Oh, hatiku menjadi sakit lagi. Kau membuatku tersiksa. Rumah ini membuatku hilang waras. Pikir ini selalu terkait padamu tiap kulihat gambar wajah kita di dinding kamar. Ah, tidak. Bahkan tanpanya pun setiap ekspresimu telah terukir dalam bagian jiwaku. Namun, bagaimana kini tidak lagi bagimu?
Harusnya aku mengerti sejak awal, bahwa aku tak akan pernah bisa mengunci hatimu. Aku tak bisa mengunci rasamu untuk selalu bertaut dengan rasaku. Seperti aku yang tak bisa mencegahmu yang sekarang memilih tertidur di ruang kerja. Sisi kiri ranjang ini sudah lama tak bertuan.
Kau tetap bungkam, penjelasan atau surat cerai tak berani kau lemparkan di depan wajahku. Yang kau lakukan hanya membuatku berlari kepadamu, berusaha meraihmu, tanpa pernah kau balas.
Aku bukan sekedar kekasihmu, Adam. Aku ini istrimu!!
Kalimat-kalimat itu telah kusiapkan untuk kulontarkan di hadapanmu. Namun, lidahku kelu tiap kali mendengarmu lagi-lagi hanya bercerita tentang dirimu. Aku nyaris gila, Adam. Berusaha kusampaikan pesan itu.. tetapi kau tetap berbalik.. Tak kau lihat sorot mataku yang meraung, tak kau rasa genggam erat tanganku yang menahanmu. Kemana perginya kita? Apakah sungguh lenyap dari hatimu?
Napasku tersengal oleh amarah dan kecewa yang membakar hatiku.
Dengan pandangan yang kabur dan tangan yang gemetar, kutelan obat-obatan anti-depresan itu dalam sekali teguk. Sesak yang menghimpit dadaku perlahan menghilang. Aku meringkuk dalam dingin bersama kesakitan itu. Aku memaafkanmu lagi, Adam. Jadi, kumohon berbaliklah.. jangan berikan punggung itu lagi padaku.. Lihat aku, aku masih menunggu.. Tolong jangan buat aku pergi dari hidupmu. Jangan biarkan simfoni sepi di malam purnama berputar kembali.
Komentar
Posting Komentar